Baca berita tanpa iklan. Gabung Gridoto.com+

GridOto Traveling

Eksplor Dieng Lanjut Trabas Menoreh Bareng Komunitas Honda Big Bike Jogja, Tuman Banget!

Ditta Aditya Pratama - Minggu, 21 April 2019 | 08:08 WIB
Divisi Tuman Honda Big Bike Jogja ke Dieng
Ditta Aditya Pratama / GridOto.com
Divisi Tuman Honda Big Bike Jogja ke Dieng

GridOto.com - Kalau ditanya mana yang lebih penting saat turing, perjalanan atau tujuannya?

Jangan dijawab dulu, mending kamu baca dulu sampai habis kisah GridOto yang kebetulan diajak lagi jalan-jalan sama Divisi 'Tuman' alias Turing Mania dari Komunitas Honda Big Bike Jogja.

Saat persiapan berangkat menuju Dieng, Sabtu (13/4/2019) saya (penulis) memang start dari Muntilan berdua bareng Ndalem Sabranglor alias Subkhi Kuncorojati yang menggunakan Honda CB500X.

Kebetulan bulan lalu sudah diajak juga main bareng Divisi Tuman ke pantai Watu Karung di Pacitan, kala itu saya pakai KTM Duke 250. Eh lanjut dong diajak lagi ke Dieng.

"Ada trouble di Duke 250, pakai CRF250L aja. Dijamin enggak nyesel," ujar Om Uki, begitu ia kerap disapa saat saya sambangi.

(Baca Juga : Sunmori Komunitas Honda Big Bike Jogja ke Pantai Watu Karung, Enggak Takut Basah Tapi Takut Lapar!)

Sekadar info saja, saya punya tinggi badan 164 cm dengan berat 47 kg. Kelas capung begini. Apa sanggup pakai CRF250L (bukan CRF250 Rally) yang tinggi joknya saja sudah 895 mm?

Sempat ragu juga ini karena selain faktor kaki yang dijamin jinjit balet, apa kuat pantat ini duduk di jok motor trail selama dua hari menempuh ratusan kilometer?

Tapi kalau enggak dicoba, ya enggak bakalan tahu. Ya gas sajalah.

Saya start dari Muntilan pukul 15:00 WIB menembus jalan perkampungan menuju titik checkpoint di pertigaan Suroloyo, Kulonprogo.

"Enggak bakalan betul kalau lewat jalan utama, ramai sama yang kampanye. Jogja-Magelang saja sampai empat jam," tambah Om Uki yang sebagai warga lokal tentu hafal jalan-jalan pelosok.

Kesempatan nih, selama di jalanan perkampungan saya dapat waktu buat membiasakan diri dengan Honda CRF250L yang sayangnya enggak dijual langsung oleh PT Astra Honda Motor (AHM).

Honda CRF250L yang dipakai GridOto, karakternya beda jauh dengan Honda CRF250 Rally!
Ditta Aditya Pratama / GridOto.com
Honda CRF250L yang dipakai GridOto, karakternya beda jauh dengan Honda CRF250 Rally!

Kalau dibandingin dengan Honda CRF250 Rally, motor yang saya pakai terasa lebih enteng dan nyaman buat meliuk-liuk sebab beratnya lebih enteng 10 kg. Kalau mesin sih sama, 250cc DOHC dengan power 24 dk dengan torsi 22 Nm.

Itu kalau standar ya, sebab Honda CRF250L yang saya pakai ternyata sudah dikorek lagi sama Om Uki yang emang gatel tangannya kalau lihat mesin standar.

"Torsinya udah tembus 30 Nm tuh," bisiknya.

Menunggu sekitar setengah jam di pertigaan Suroloyo akhirnya muncul juga 2 unit CB500X, 1 CB500F, 1 Honda Africa Twin, 1 CRF250 Rally, dan yang bikin kaget, 1 CRF150L yang dikawal Eko Purnomo, Big Bike Manager Astra Motor Jogja dengan Honda Rebel.

Namanya juga komunitas tuman, enggak peduli pakai motornya apa, yang penting ngegas!

Perjalanan di hari pertama memang enggak terasa spesial karena melewati jalur utama Magelang-Salaman-Sapuran hingga Wonosobo.

Karena jalanan ramai sama rombongan kampanye, kami sampai di sebuah rumah makan di Kota Wonosobo pukul 17:30 WIB. Sudah ada 1 Africa Twin yang menunggu disitu milik Bro Yusuf dari ngegas sendiri dari Purbalingga.

Karena target hari pertama cuma sampai ke Dieng, bisa rada santai tuh. Kami baru berangkat lagi dari rumah makan pukul 19:30 WIB karena menunggu Chacha Herdianto, Big Bike Manager dari Astra Motor Jateng yang ngegas sendirian dari Semarang pakai Honda Rebel 500.

"Tadinya ngajak yang lain, tapi pada gak bisa. Mau pake Africa Twin juga males kalau sendirian, ya pakai Rebel ajalah," kekehnya saat bersua dengan GridOto.

GridOto dan Chacha Herdianto, Big Bike Manager Astra Motor Jateng.
Yusuf Pribadi untuk GridOto.com
GridOto dan Chacha Herdianto, Big Bike Manager Astra Motor Jateng.

Kalau sudah di Wonosobo, perjalanan ke Dieng memang enggak kerasa jauh. Meski malam minggu, jalanan terasa sepi. Apalagi jalannya sudah mulus. Namanya juga rombongan moge-moge yang torsinya badak, enggak ada kendala lewat jalur yang tanjakan terus enggak ada habisnya.

Kebetulan saya yang berada di bagian belakang rombongan senang saja melihat liukan lampu-lampu rem yang seakan berdansa di kegelapan. Naik turun menghilang dan muncul lagi mengikuti kontur jalanan.

Pukul 9 malam kurang sedikit, kami sudah sampai di Dieng. Total perjalanan hari pertama 106 km saja. Jangan tanya dinginnya Dieng seperti apa. Padahal baru jam segitu sudah bikin gravitasi ke selimut meningkat 10 kali lipat.

"Ada tukang mie ongklok tuh, buka 24 jam," kata Bro Eko saat kami sudah santai-santai dan sebenarnya sudah mau tidur di kamar penginapan.

Eh dipanasin kayak begitu, Om Antony, Bro Yusuf, Mas Eko, dan Mas Chacha langsung ambil kunci motor.

(Baca Juga : GOTraveling! Kebun Teh Kemuning Ngargoyoso, Rute Asyik Buat Sunmori dan Uji Torsi)

Pukul setengah 12 malam malah berkeliaran di plato berketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut demi semangkuk mie? Ah ini pasti bercanda.

Eh betulan, saya pun kena 'culik' dan ikut makan makanan khas Wonosobo berupa mie yang pakai kuah kanji plus saus kacang itu. Sambil menggigil tentunya.

"Sudah sampe sini kok langsung tidur. Makan dulu lah!" tawa Bro Yusuf yang memang saat turing selalu menyempatkan diri buat mencoba makanan khas daerah yang disambangi.

Selesai makan mie ongklok dan kembali ke penginapan lagi, intip termometer, alamak sudah tembus 11 derajat.

"Ini masih enak mas. Coba kalau datang ke sini bulan Agustus. Bisa minus suhunya," ungkap penjaga penginapan di lobi.

Membayangkannya saja saya sudah kepikiran buat masukin motor ke kamar penginapan dan tidur di kolong motor dekat knalpot.

Untungnya saya bisa tidur pulas malam itu, ketiduran saat mikir bakal lewat rute kayak apa besok, katanya sih bakal spesial banget.

Pagi-pagi terbangun, saya langsung terpikir dengan ujian paling hardcore di Dieng, mandi pagi dengan air dingin.

"Yeee.... Ada air panasnya," tawa Om Uki yang sudah segar sambil tertawa-tawa. Oke, berarti ikut ujiannya nembak saja alias mandi pakai air panas.

Pukul 08:00 WIB, beres sarapan kami sudah nongkrong-nongkrong di lobi. Enggak ada cerita ke Bukit Sikunir atau Gunung Prau. Cuaca enggak sportif. Berawan.

Foto-foto dulu di lobi dan ke spot wajib foto di Dieng, kami enggak langsung ngegas karena menunggu Bro Angky dari Banjarnegara. Katanya mau ngajak ke kafe miliknya. Ya jelas enggak kami tolak.

Berfoto di depan penginapan Tani Jiwo, Dieng
Ditta Aditya Pratama / GridOto.com
Berfoto di depan penginapan Tani Jiwo, Dieng

Enggak lama, Bro Angky yang biasanya pakai Honda CB500X malah datang pakai BMW F800GS. Enggak cuma sendiri karena ternyata ia ditemani dua kawannya yang pakai F800GS juga, dan seekor Ducati Multistrada.

Rombongan kami yang jadi 14 motor pertama mengarah ke Desa Sembungan. Desa ini unik karena disebut-sebut sebagai desa tertinggi di Jawa. Rata-rata ketinggiannya 2.200 meter di atas permukaan laut.

Desa ini juga jadi titik start kalau mau mengincar sunrise di Bukit Sikunir. Karena kami sampai di situ pukul 9 pagi, boro-boro sunrise. Yang ada malah kabut-rise.

"Puter balik?" tanya Om Aat selaku road captain yang pakai CB500X.

"Yuk, eh tapi foto-foto dululah Om!" jawab saya.

Desa Sembungan yang dibilang sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa
Ditta Aditya Pratama / GridOto.com
Desa Sembungan yang dibilang sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa

Perjalanan kami lanjut saja turun ke Banjarnegara via Batur. Rutenya benar-benar asyik buat pecinta turing. Naik turun dan berkelok. Pemandangannya juga super menawan.

Itu kalau cuaca cerah. Kalau sedang berkabut, lebih baik tahu diri.

Sempat ada trouble menimpa Honda CB500X milik Om Yoshi karena bocor. Biarpun moge seharga 150 jutaan, tetap saja kalau bannya masih berbahan karet kalau sial ya bocor juga.

Untungnya banyak bengkel yang bertebaran di jalan raya Dieng-Batur. Om Yoshi pun akhirnya tukar pakai Honda CRF250 Rally yang dipakai Dwi, mekanik Big Bike Astra Motor Jateng yang selalu diajak jalan-jalan sama tim Tuman.

CB500X-nya? Ditinggal di bengkel dan dijaga sama Om Eko dan Dwi. Kami pun lanjut ke Banjarnegara.

Foto-foto dulu di rute Dieng-Batur
Ditta Aditya Pratama / GridOto.com
Foto-foto dulu di rute Dieng-Batur

Nah buat kamu yang belum pernah lewat jalur Batur-Banjarnegara, ini alternatif kalau mau ke Dieng tanpa lewat Wonosobo. Kondisi jalurnya super muluuus. Top banget!

Hanya saja, konturnya menanjak (kalau kami saat itu ya menurun) dan penuh tikungan hairpin. Yang senang ketemu tikungan ya dijamin riding sambil senyam-senyum terus.

Kalau yang enggak biasa ketemu tikungan macam keris enggak ada habisnya, ya bisa keteteran.

Nah balik ngomongin CRF250L yang saya pakai, untung pakai ban dual-purpose Shinko yang bikin saya mantap menikung. Lain kisahnya dengan Om Yoshi, CRF250 Rally yang ia pakai ternyata ban masih standar.

"Kurang mantep nih, enggak pede nikungnya," ungkap pria yang berprofesi sebagai dokter ini. Ditambah lagi, ia biasa pakai CB500X, tentu cara nikungnya beda banget sama CRF250 Rally.

Sekitar pukul 1 siang, sampai juga nih di kafe milik Bro Angky. Coffee Racer namanya. Ternyata tempatnya asyik juga walau posisinya rada 'antah-berantah'.

Patokannya kalau mau mampir, ada di daerah Wanadadi dekat Waduk Mrica. Ikutin saja jalur dari Waduk Mrica ke arah Banjarmangu. Atau ya cek saja di Google Maps. Sudah ada kok.

Kafe Coffee Racer Bro Angky ini ternyata jadi salah satu spot kumpul bikers di Banjarnegara. Waktu kami mampir saja, ada Yamaha R1M, Yamaha R1 Crossplane, dan sebuah Harley-Davidson yang datang.

Enggak nyangka juga nih kalau di Banjarnegara komunitas mogenya enggak kalah kayak kota besar macam Jakarta atau Bandung. Next time mungkin bakal saya eksplor juga buat artikel lain, hehehe...

Kafe Coffee Racer di Wanadadi, Banjarnegara
Ditta Aditya Pratama / GridOto.com
Kafe Coffee Racer di Wanadadi, Banjarnegara

Sementara menunggu Dwi yang pakai Honda CB500X Om Yoshi dan Om Eko yang mengawal pakai Honda Rebel 500, ya jelas kami makan siang dulu.

Ternyata kondisi ban CB500X Om Yoshi sudah terlalu parah sehingga motor harus ditowing buat ganti ban. Akhirnya ia jadi boncenger Om Aat sang road captain.

Eh iya, dari berangkat kemarin, motor yang saya pakai belum isi bensin. Padahal Om Uki bilang CRF250L itu boros banget. Konsekuensi mesin yang sudah dioprek yang tenaganya ngisi terus, ya makannya banyak.

Makanya saat kami start dari Coffe Racer pukul 14:00 WIB, indikator bensin sudah tinggal 1 bar. Waduh mesti cepat-cepat nemu SPBU. Tapi ada alasan lain sih kenapa saya harus buru-buru ke SPBU.

"Om, perut enggak enak nih. Tadi pagi enggak..." saat saya sukses mengejar Om Aat sang Road Captain.

"Iya udah sana ngegas duluan di depan, cari SPBU," ia langsung memotong omongan saya. Sudah ngerti dia. Haha!

(Baca Juga : Mampir ke Tebing Miring Patuk Gunung Kidul, Jalanannya Unik Serasa Oleng Kapten!)

Dari Wanadadi kami ketemu lagi dengan jalan raya utama Banjarnegara-Wonosobo. Jalurnya mulus dan lebar. Di kiri jalan sungai Serayu terlihat mengalir deras.

Pengennya sih jalan santai atau berhenti sejenak foto-foto sembari membayangkan keroncong "Di Tepinya Sungai Serayu", tapi kalau kondisi perut kayak begini, mana kepikiran.

Akhirnya yang saya nanti-nantikan pun tiba, SPBU nampak. Ampun deh menahan gejolak dalam perut ini harus lintas kabupaten.

Tapi ada sugesti yang aneh. Kenapa ya kalau kebelet motor terasa lebih enak dipakai menikung. Torsi pun serasa naik puluhan Nm. Top speed? Tiba-tiba saja saya bisa geber sampai 130 km/jam.

Tapi sudahlah, enggak perlu dibahas lagi sebab urusan saya sudah selesai dan motor sudah diisi full tank. Benar kata Om Uki, ada harga ada rupa.

Honda CRF250L yang saya pakai sudah pakai tangki Acerbis ukuran 13 liter, bensin bisa tandas dalam 200 km. Itu berarti kan sekitar 1:15 saja. 

Etape terakhir sebelum kembali ke Muntilan melewati rute alternatif Tikungan Sewu di Kalibawang. Ini juga jalurnya benar-benar manjain pecinta cornering.

Ditambah lagi, sepanjang perjalanan pulang hujan turun sebentar saja, enggak seperti perjalanan bulan lalu ke Pacitan yang full basah-basahan terus.

Rute yang kami lalui menembus perkampungan di Kalibawang. Hati-hati kalau mau lewat sini sebab banyak jebakan berduri.

Sudah itu jebakannya ada di pinggir jalan, ya jelas deh kami terpaksa berhenti. Malah Om Anton dan Om Antony (iya ada 2 orang yang namanya cuma beda 1 huruf) sudah bela-belain bawa tupperware buat bawa pulang jebakan berduri ini.

Jebakan berduri kayak begini, jangan dilawan. Pakai moge ratusan juta pun nyerah!
Ditta Aditya Pratama / GridOto.com
Jebakan berduri kayak begini, jangan dilawan. Pakai moge ratusan juta pun nyerah!

Rute Kalibawang sampai Kepil ini sebenarnya bukan rute umum. Ini hasil ulikan Om Aat dan Om Uki yang hobi banget menyasarkan diri. Medannya jalanan aspal rada rompal sana-sini yang malah bikin seneng pengguna motor dual purpose.

Yang kasihan sih Om Eko yang pakai Honda Rebel, mau ngedumel dijamin enggak bisa. Yang ada nanti malah ditinggal.

Rute tembus Kalibawang-Kepil sepanjang 20 km ini bermuara di jalur utama Wonosobo-Purworejo.

Sudahan enduronya? Belum Sob! Justru kami dibelokin lagi menuju Banyuasin dan menanjak ke Loano. Rutenya cukup sempit dan menyusur sungai Bogowonto.

Puas susur Bogowonto, kami mulai menanjak perbukitan Menoreh dan masuk lagi ke Provinsi DI Yogyakarta.

Saat itu sudah pukul setengah 6 sore. Cahaya sudah mulai temaram. Saya dan Om Uki berpisah dengan rombongan utama yang mengarah ke Yogyakarta via Sedayu tembus Wates.

"Kita ke Muntilan mampir ke Suroloyo dulu, perjalanan kita masih jauh." Ia mengarahkan motornya ke jalur Nglinggo.

Sudah mulai gelap, kami yang tinggal berdua ngegas makin kencang melipir puncakan Menoreh. Sempat berhenti sejenak menikmati sisa-sisa mentari yang ronanya jingganya berubah menjadi lembayung.

Melipir Pegunungan Menoreh bareng 'warga lokal'
Subkhi Kuncorojati untuk GridOto.com
Melipir Pegunungan Menoreh bareng 'warga lokal'

"Ini siapa sih yang bikin jalanan di sini, sempit, pinggir jurang, kayak antah berantah. Buat apa juga?" tanya saya.

"Ya buat saya pake trabasan, hahaha," puas banget Om Uki ketawanya saat itu.

Kalau enggak bawa warga lokal, lebih baik jangan deh coba melipir dari Nglinggo sampai Suroloyo saat malam hari. Apalagi kalau sudah ada kabut. Bisa ampun-ampunan.

Kalau ngomongin kondisi jalan, sebenarnya cukup bagus untuk ukuran antah berantah. Sudah diaspal walau ada lubang di sana sini.

Yang bikin ngeri adalah kondisinya yang benar-benar melipir jurang.

Pukul 18:00 WIB, sampai juga kami di Puncak Suroloyo. Kapok? Enggak. Jujur jalurnya nagih.

"Iya gelap sih enggak keliatan jurangnya. Itu ada yang rutenya kayak jembatan jurangnya di kanan-kiri," kata Om Uki sembari kami ngopi di Kopi Suroloyo yang sohor dengan biji robustanya itu.

Enggak ngerti juga kenapa kami terus ketemu dengan orang-orang yang sama 'tumannya', sebab ternyata saat itu ada kopdar anak Supermoto Indonesia (SMI) chapter Jogja yang dikomandoi Bro Aan Mei di Kopi Suroloyo.

Melihat saya yang pakai motor tak lazim, mereka langsung ribut-ribut macam terka-perkara. 

Akhirnya obrolan makin seru karena kami yang datang berdua, malah jadi ngobrol bareng. Asli langsung cair!

Apalagi saat kawan Om Uki datang dengan BMW F650GS, wah jadi ramai lagi deh.

Bener yang orang-orang bilang, gara-gara motor semua bisa jadi temen. Hal itu betulan saya temukan dari perjalanan kali ini. Banyak muka-muka gak kenal tiba-tiba nyambung aja saat ngobrol.

Sekitar pukul 19:00 WIB kami memutuskan turun balik ke Muntilan. Namanya juga bareng warga lokal, jalanan turunan berliku tetap saja speed 60-80 km/jam.

(Baca Juga : Nah Loh, Ternyata Ada Rute Paris-Dakar di Kabupaten Bandung Barat!)

Cuma perlu waktu 45 menit kami sampai di Muntilan. Sampai rumah Om Uki lagi, hujan rintik-rintik turun. Ah pas banget.

Total perjalanan Muntilan-Dieng-Kepil-Suroloyo-Muntilan saya catat sekitar 320 km.

"Kalau enggak ada kamu, enggak sampai setengah jam turun," ujar Om Uki sambil beres-beres.

"Gila amat."

"Ya tadi kan saya liat di spion, kalau kamu ilang, saya pelanin. Kalau udah keliatan, ngegas lagi."

Pantes saya merasa kayak dikerjain selama perjalanan pulang dari Suroloyo tadi.

Istirahat sejenak dan ngobrol-ngobrol, saya harus pamit lanjut ke Solo, ke basecamp GridOto. Saat itu sudah pukul 21:00 WIB dan saya putuskan lewat Ketep-Selo-Boyolali daripada muter dulu ke Jogja.

"Beneran pulang lewat Ketep? Kirain mau nginep. Gila, kuat amat?" ujar Om Uki keheranan.

Baru beberapa saat sebelumnya saya ngatain Om Uki gila karena kecepatannya turun dari Suroloyo, sekarang saya dibalas dikatain gila juga.

Tapi buat saya, setiap turing itu harus bisa pulang ke rumah dengan selamat. Itu tujuannya. Pulang agar bisa menceritakan hal yang seru selama turing itu. Pulang agar bisa menentukan lagi mau ke mana lagi berikutnya.

Kalau kamu, mana yang lebih penting saat turing, perjalanannya atau tujuannya?

Sobat bisa berlangganan Tabloid OTOMOTIF lewat www.gridstore.id.

Atau versi elektronik (e-Magz) yang dapat diakses secara online di : ebooks.gramedia.com, myedisi.com atau majalah.id



KOMENTAR

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

loading
SELANJUTNYA INDEX BERITA
Close Ads X
yt-1 in left right search line play fb gp tw wa