"Tapi tetap harus dicari siapa yang membocorkan, dan pihak itulah yang harus ditindak," tegas Alfons.
Leboh lanjut, Alfons menduga kebocoran data bisa terjadi dalam rantai panjang penagihan kredit, termasuk melalui penggunaan jasa outsourcing oleh perusahaan pembiayaan.
Dalam praktiknya, antarpenyedia jasa penagihan dimungkinkan saling berbagi data, lalu data tersebut dikompilasi menjadi basis data aplikasi seperti Dewa Matel.
"Ada kemungkinan lembaga pembiayaan menggunakan jasa outsource untuk menagih kredit. Antar-outsource ini saling berkomunikasi dan berbagi data," ujar Alfons.
Baca Juga: Dunia Debt Collector Terungkap, Tak Semua Mobil atau Motor Tarikan Langsung Jadi Hak Milik Leasing
"Lalu datanya dijadikan database oleh aplikasi matel untuk mempermudah operasional," lanjut dia.
Menurut Alfons, persoalan menjadi semakin serius karena aplikasi tersebut berpotensi besar disalahgunakan, tidak hanya untuk melacak kendaraan kredit bermasalah.
"Kalau melanggar privasi, itu jelas. Kalau disalahgunakan, juga jelas. Data ini bisa dipakai bukan hanya untuk penagihan, tapi untuk penipuan dan kejahatan lain," sebut Alfons.
"Bahkan kalau pun digunakan untuk melacak kendaraan menunggak, tetap ada batasan ketat yang harus dipatuhi. Tidak bisa diberikan begitu saja," tambah dia.
Ia menegaskan, penggunaan data pribadi hanya dapat dibenarkan jika disertai dasar hukum yang kuat, seperti surat tugas resmi, penugasan spesifik, dan pembatasan akses yang jelas.
"Kalau digunakan perusahaan pun harus ada dukungan sah. Misalnya ada surat tugas untuk nomor plat tertentu, nama siapa, itu harus formal. Kalau sudah ada di aplikasi dan bisa diakses umum, itu sudah melanggar. Dan aplikasinya bisa diakses orang awam, itu pelanggaran luar biasa," jelas Alfons.
| Editor | : | Hendra |
KOMENTAR