Hanya dengan memasukkan nomor polisi kendaraan, pengguna dapat mengakses berbagai data sensitif, mulai dari nomor mesin, nomor rangka, nama pemilik, lembaga pembiayaan, hingga status kredit kendaraan.
"Dari sisi privasi data, ini jelas melanggar UU PDP. Data kendaraan itu data pribadi. Pelat nomor, nomor mesin, nomor rangka, nama pemilik, nama leasing, tahun kendaraan semuanya bisa diakses hanya dengan instal aplikasi. Itu tidak dibenarkan," kata Alfons.
Meski demikian, Alfons menilai persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari praktik penagihan kredit bermasalah di industri pembiayaan.
Menurut dia, lembaga pembiayaan kerap menghadapi nasabah wanprestasi, sementara jalur hukum formal dinilai memakan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sebanding dengan nilai kredit.
"Kalau ditindak secara hukum, berdasarkan pengalaman, itu menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sepadan. Karena itulah kemudian muncul cara-cara lain, salah satunya menggunakan debt collector atau mata elang," ujarnya.
Baca Juga: Berbahaya, 8 Aplikasi Andalan Debt Collector Diajukan Komdigi Untuk Diblokir
Alfons menegaskan kondisi tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran atas penggunaan data pribadi tanpa dasar hukum yang sah.
Ia menilai, sumber kebocoran data yang kemudian dihimpun menjadi basis data aplikasi matel harus ditelusuri secara serius.
"Soal bocornya data, itu harus ditelusuri sumbernya dari mana. Apakah dari lembaga pembiayaan atau pihak lain. Data digital itu sifatnya sekali bocor akan bocor selamanya dan tidak bisa dibatalkan," paparnya.
| Editor | : | Hendra |
KOMENTAR