Baca berita tanpa iklan. Gabung Gridoto.com+

Baru Tahu, Ternyata Penghasilan Para Debt Collector Resmi Dikenai Pajak 2 Persen

Irsyaad W - Rabu, 24 Desember 2025 | 10:30 WIB
Polisi tangkap tujuh debt collector di wilayah Sukmajaya, Kota Depok.
KOMPAS.com/DINDA AULIA RAMADHANTY
Polisi tangkap tujuh debt collector di wilayah Sukmajaya, Kota Depok.

GridOto.com - Debt collector atau mata elang terlanjur mendapat stigma negatif di masyarakat.

Ini karena ulah oknum-oknum ilegal yang merampas mobil atau motor secara brutal di jalan.

Padahal sistem kerja debt collector resmi bersertifikat beda banget dengan para matel ilegal.

Penghasilan debt collector resmi pun dikenai pajak 2 persen.

Mata elang yang kerap melakukan penindakan di jalan ternyata tidak bekerja secara ilegal.

Mereka berada di bawah naungan perusahaan yang telah berbadan hukum.

"Iya, jadi kalau saya ini kita bekerja di jalan atau lapangan, yang memang bernaung di bawah wadah PT, di mana PT tersebut bermitra langsung dengan perusahaan pembiayaan (leasing)," ucap salah satu mata elang Andre (35, nama samaran) ketika diwawancarai, (22/12/25) disitat dari Kompas.com.

Baca Juga: Rahasia Debt Collector Terbongkar, Incar Motor Korban Pakai Aplikasi Sepele Ini

Alex menjelaskan, dulunya pekerjaan mata elang belum berada di bawah perusahaan berbadan hukum.

Namun, karena banyaknya kejadian yang tidak diinginkan saat proses penindakan di lapangan, pihak leasing kemudian mewajibkan para mata elang untuk berada di bawah perusahaan resmi.

"Jadi, PT bermitra dengan leasing ada MoU, PT ini sudah berbadan hukum. Kita bermitra dengan PT," tutur Andre.

Karena bermitra dengan perusahaan yang sudah berbadan hukum, ini membuat para mata elang tidak dapat bertindak sembarangan dalam menjalankan profesinya.

Hampir 16 tahun menjalani profesi ini, Andre bilang bahwa syarat untuk menjadi mata elang tidaklah mudah meski sering dianggap ilegal oleh banyak orang.

Syarat pertama, seorang mata elang resmi dan sudah berada di bawah naungan PT berbadan hukum wajib memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) yang aktif.

Namun, untuk mendapatkan KTA atau masuk ke dalam PT, seorang mata elang juga tidak bisa sembarangan dan harus melakukan sertifikasi terlebih dahulu.

Baca Juga: Puas, Dua Debt Collector Dijotosi dan Diinjak Pemuda Beramai-ramai di Tepi Jalan Grobogan

"Syarat kedua, yang harus dibikin wajib itu ada yang namanya SPPI (Sertifikasi Profesi Pembiayaan Indonesia) dan SPPI itu diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi di bawah naungan APPI (Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Keuangan)," beber Andre.

Untuk mendapatkan SPPI juga tidak mudah. Calon mata elang harus menjalani tes online dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi.

Dalam tes tersebut, peserta akan diuji terkait sistem penagihan yang benar, mulai dari cara menyapa debitur saat diberhentikan di jalan, cara berinteraksi, menyampaikan tujuan, hingga sikap dan perilaku terhadap nasabah.

Menurut Andre, orang yang belum pernah terjun ke dunia mata elang akan kesulitan mengikuti tes sertifikasi ini.

Bahkan, dirinya yang telah berkecimpung selama 16 tahun pun sempat gagal sebanyak tiga kali.

Sekitar tahun 2017, Andre akhirnya berhasil lulus dan memperoleh SPPI yang kini menjadi modal utamanya dalam bekerja.

Selain sulit, peserta juga harus membayar biaya tes SPPI sebesar Rp 300.000 hingga Rp 500.000.

Baca Juga: Tiga Debt Collector Dikepung Massa di Grobogan, Berawal Teriakan Keras Pemilik Brio

Setiap mata elang akan mati-matian mendapatkan SPPI agar bisa dipekerjakan oleh PT yang telah bermitra dengan leasing.

"Saya sampaikan bahwa, mata elang zaman sekarang tidak ada yang tidak punya KTA dan SPPI, itu wajib punya semua, karena PT-PT yang merekrut tenaga lepas seperti mata elang di lapangan itu mereka harus memberikan surat tugas, dan wajib punya namanya SPPI, tidak semudah zaman dulu," paparnya.

Dengan adanya SPPI, pihak PT dan leasing menjadi yakin bahwa mata elang yang dipekerjakannya bisa menjalankan tugas sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) perusahaan, salah satunya tidak dengan melakukan kekerasaan saat penagihan.

Meski berada di bawah naungan PT berbadan hukum, para mata elang tidak mendapatkan gaji bulanan tetap seperti karyawan pada umumnya.

"Kalau PT ini kita sistemnya bermitra tapi mitra lepas freelance. Kita sebenarnya enggak ada gaji, tergantung dapatnya (kendaraan), kalau dapat di situ ada yang namanya sistem fee," ungkap Alex.

PT yang menaungi para mata elang biasanya bekerja sama dengan banyak perusahaan leasing.

Karena itu, jumlah kendaraan dengan kredit bermasalah yang harus ditelusuri ada cukup banyak setiap harinya.

Baca Juga: Sering Dicap Jelek, Debt Collector Wajib Paham Etika dan Regulasi Penagihan

Besaran fee yang diterima mata elang bergantung pada leasing asal kendaraan tersebut, karena setiap leasing memiliki kebijakan yang berbeda.

Biasanya, dari satu unit motor, mata elang bisa memperoleh fee sekitar Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta.

Dalam sebulan, Andre mengaku dapat memperoleh lima hingga 10 kendaraan yang memiliki tunggakan kredit.

Namun, pendapatan itu harus dibagi dengan rekan-rekannya karena ia bekerja secara kelompok.

Andre juga menegaskan profesinya tidak ilegal. Salah satu buktinya, setiap fee yang diterima akan dipotong sebesar dua persen untuk pajak.

Salah satu direktur perusahaan leasing, Rey (bukan nama sebenarnya), menyebut bahwa mata elang yang resmi bermitra dengan leasing selalu dibekali surat kuasa untuk menarik kendaraan bermasalah.

"Kalau dia debt collector resmi, bukan gadungan, artinya dia mendapatkan kuasa tarik, izin dari kami," ujar Rey saat dihubungi, 22/12/25) menukil Kompas.com.

Baca Juga: Debt Collector Wajib Tahu, Rampas Motor Nunggak Angsuran Bisa Dihukum Mati Atas Dasar Ini

Sebaliknya, mata elang yang ilegal atau tidak bermitra secara resmi dengan leasing tidak akan memiliki surat kuasa, tidak memiliki izin, dan hanya bermodalkan data dari aplikasi untuk melakukan eksekusi secara sepihak.

Rey menegaskan, mata elang yang bekerja sesuai SOP wajib membawa surat kuasa, surat somasi atau teguran, sertifikat SPPI, serta dokumen pendukung lainnya saat melakukan penagihan di jalan.

Selain itu, mata elang resmi juga diwajibkan menagih dengan cara yang sopan kepada debitur sesuai SOP perusahaan.

Menurut Rey, selama penagihan dilakukan secara santun dan dilengkapi dokumen resmi, maka tindakan pengambilan kendaraan di jalan bukan merupakan intimidasi dan masih sesuai dengan perjanjian pembiayaan.

Lebih lanjut, Rey mengungkapkan, mayoritas kendaraan yang terpaksa dieksekusi oleh para mata elang sudah berpindah kepemilikan.

"Perlu juga diingat, 95 persen lebih eksekusi terjadi karena kendaraannya sudah bukan di tangan debitur, tapi di tangan pihak ketiga. Pihak ketiga ini kadang-kadang lebih galak. Jadi, akar masalahnya harus dilihat," jelas Rey.

Jika kendaraan telah berpindah tangan, pihak leasing dan mata elang harus memastikan apakah kepemilikan tersebut masih atas nama debitur atau sudah dijual secara resmi.

Apabila kendaraan telah dijual secara sah, maka mata elang dan pihak leasing tidak diperbolehkan melakukan eksekusi.

Dia menilai, debitur yang menjual kendaraan secara sepihak untuk menghindari kewajiban cicilanlah yang seharusnya bertanggung jawab.

"Jadi jangan debt collector terus yang disalahkan. Debiturnya juga harus dicari tahu dulu, kendaraan ini dipegang siapa dan yang memegang itu punya hak atau tidak," tutur Rey.

Editor : Panji Nugraha

Sobat bisa berlangganan Tabloid OTOMOTIF lewat www.gridstore.id.

Atau versi elektronik (e-Magz) yang dapat diakses secara online di : ebooks.gramedia.com, myedisi.com atau majalah.id



KOMENTAR

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

loading
SELANJUTNYA INDEX BERITA
Close Ads X
yt-1 in left right search line play fb gp tw wa