Penggunaan kaca film yang mengganggu visibilitas termasuk pelanggaran teknis.
Berdasarkan Pasal 285 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009, pelanggaran ini dikenai sanksi:
“Kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000.”
Pelanggaran juga dapat dikenakan penindakan melalui pemeriksaan langsung di lapangan (mobile ETLE/patroli manual) jika kamera ETLE tidak dapat membaca pelanggaran akibat kaca yang terlalu gelap.
Lantas berapa rasio kegelapan kaca film yang dibolehkan menurut kepolisian?
Secara umum, Permenhub tidak menyebut angka eksplisit, tetapi rekomendasi teknis dan SK Menhub menyebutkan:
• Kaca depan dan bagian atas kaca belakang harus memiliki tingkat penembusan cahaya minimal 40%,
• Dan kaca lainnya (samping dan belakang) tidak kurang dari 70% visibilitas cahaya.
Dalam praktik uji laik jalan dan standar industri, umumnya disarankan:
• Kaca depan maksimal 30% kegelapan,
• Samping dan belakang tidak melebihi 60%,
agar tetap memenuhi aspek keselamatan dan mendukung fungsi ETLE.
Baca Juga: Saldo ATM Bisa Menipis Kalau Pelanggar Tak Segera Bayar Tilang ETLE
Karenannya, perlu ada sosialisasi termasuk ke pedagang kaca film agar memasarkan dagangannya sesuai ketentuan.
"Betul sosialisasi harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya kepada pemilik kendaraan tetapi juga ke pedagang dan distributor kaca film," tuturnya.
Mereka diharapkan turut menjelaskan kepada konsumen tentang batas kegelapan yang legal dan aman, agar produk yang dipasang tidak menyalahi aturan, serta tetap mendukung keselamatan dan tertib lalu lintas.
Sebelumnya, Dirlantas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Komarudin, mengaku gerah dengan banyaknya mobil yang memakai kaca film super gelap, sampai-sampai wajah pengemudi tidak bisa dikenali kamera.
"ETLE ini sistemnya berbasis kamera dan bukti visual. Tapi kalau wajah pengemudi nggak kelihatan karena kacanya terlalu gelap, kita jadi kesulitan. Ini sedang kita bahas untuk diatur kadar kegelapannya," ujar Kombes Komarudin dalam sebuah podcast di channel Deddy Corbuzier (21/5/2025).
Menurut Komarudin, banyak pelanggaran lalu lintas yang sebenarnya tertangkap kamera, tapi tidak bisa diproses karena identitas pengemudi tidak terlihat.
Hal ini jadi masalah ketika sistem ingin menindak "barang siapa" yang melanggar, bukan cuma berdasarkan pelat nomor. Semisal mobil rental yang melanggar.
Ataupun yang paling umum adalah pelanggaran menggunakan ponsel saat mengemudi atau tidak menggunakan sabuk pengaman.
"Pelanggaran-pelanggaran itu perlu dilihat secara visual. Tapi kalau kacanya hitam pekat, wajah pengemudinya nggak kelihatan, akhirnya nggak bisa kita proses," katanya menjelaskan.
| Editor | : | Panji Nugraha |
KOMENTAR