Unek-unek Debt Collector Keluar Semua, Diamuk Massa Ditanggung Sendiri Tanpa Bantuan Leasing

Irsyaad W - Rabu, 24 Desember 2025 | 10:00 WIB

Ilustrasi Mata elang sangat meresahkan, polisi melakukan penyisiran (Irsyaad W - )

GridOto.com - Unek-unek dari seorang pelaku pekerjaan debt collector keluar semua.

Seperti diungkap Andre (35, nama samaran) asal Indonesia Timur yang sudah melakoni profesi ini selama 16 tahun.

Ia mengungkapkan semua pengalamannya mulai risiko konflik di lapangan hingga ancaman diamuk massa yang ditanggung sendiri tanpa mendapat bantuan dari pihak leasing.

Tak jarang, situasi berujung baku hantam hingga pengeroyokan oleh warga sekitar. Risiko tersebut menjadi bagian dari keseharian para mata elang di lapangan.

Andre mengaku memilih pekerjaan ini karena sulit mendapatkan pekerjaan lain, meski telah berupaya keras mencarinya.

"Kami juga mencari pekerjaan dari sana ke sini enggak ada, akhirnya mau tidak mau kita harus di sini (sebagai mata elang)," tutur Alex ketika diwawancarai, (22/12/25) menukil Kompas.com.

Untuk menjadi mata elang, Alex mengatakan seseorang tidak bisa serta-merta turun ke lapangan.

Baca Juga: Bukan Dirampas di Jalan, Begini Alur Resmi Penarikan Mobil atau Motor Kredit Oleh Debt Collector

Mereka harus mengikuti Sertifikasi Profesi Pembiayaan Indonesia (SPPI) yang diterbitkan oleh Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI).

Dalam proses sertifikasi tersebut, calon mata elang wajib menjalani tes daring yang ketat untuk menguji pemahaman terkait prosedur penagihan utang yang sesuai aturan.

Materi ujian mencakup tata cara penagihan, mulai dari menyapa debitur saat menghentikan kendaraan di jalan, berinteraksi secara sopan, menyampaikan tujuan penagihan, hingga menjaga perilaku selama berhadapan dengan nasabah.

Sertifikat profesi atau SPPI inilah yang menjadi modal utama agar mata elang dapat direkrut oleh perusahaan debt collector berbadan hukum yang bekerja sama dengan berbagai leasing.

Tanpa SPPI, perusahaan tersebut tidak dapat merekomendasikan mata elang untuk bekerja secara freelance di bawah naungan leasing.

Keberadaan sertifikasi ini bertujuan memberi jaminan kepada pihak leasing bahwa mata elang yang dipekerjakan akan menjalankan tugas sesuai standar operasional prosedur (SOP), yakni bersikap sopan, tidak arogan, dan tidak menggunakan kekerasan.

Dengan dasar itu, mata elang yang legal dan memiliki SPPI dituntut bekerja lebih hati-hati agar tidak memicu keributan saat melakukan penagihan.

Baca Juga: Berbahaya, 8 Aplikasi Andalan Debt Collector Diajukan Komdigi Untuk Diblokir

Namun, menurut Alex, konflik di lapangan kerap bukan dipicu oleh debitur, melainkan pihak lain yang ikut campur dan memprovokasi situasi.

"Tapi, yang sering terjadi menimbulkan keributan itu, biasanya bukan karena kami bertengkar sama debitur, tapi ada pihak lain yang ikut campur di situ atau kompor-komporin nasabah tersebut," papar Andre.

Provokator inilah yang kerap membuat suasana memanas dan mengundang kerumunan warga.

Tak jarang, mata elang justru menjadi sasaran amukan massa karena dianggap hendak merampas kendaraan milik debitur.

Dalam kondisi terpojok, sebagian mata elang merasa tidak memiliki pilihan lain.

"Sering terjadi kami dikerumuni dan enggak ada pilihan lain lagi, selain melawan karena kalau tidak melawan kami bisa diteriaki maling atau disikat habis," beber dia.

Andre menilai, banyak oknum yang mengatasnamakan mata elang untuk melakukan tindak kejahatan, seperti pencurian kendaraan bermotor.

Baca Juga: Ngeri, Debt Collector Semudah Ini Dapat Data Nasabah Hanya Bermodal Aplikasi di Playstore

Hal itu berdampak pada stigma negatif yang melekat pada mata elang resmi saat menjalankan tugas di lapangan.

Akibatnya, tidak sedikit warga yang langsung menghakimi debt collector ketika terjadi perselisihan di jalan.

Saat mata elang terlibat benturan dengan debitur atau warga dan berujung berurusan dengan polisi, mereka kerap harus menanggung konsekuensinya sendiri.

Menurut Andre, pihak leasing sering kali enggan ikut campur ketika mata elang ditahan polisi akibat keributan di lapangan.

"Kalau sejauh ini tergantung leasing-nya, beberapa leasing memang jarang sekali ikut turun. Biasanya, kalau pihak leasing ikut turun ada komunikasi bagus dan kepercayaan atau sudah saling kenal dan punya kedekatan dengan mata elangnya," ungkapnya.

Jika tidak memiliki kedekatan dengan pihak leasing, mata elang kerap tidak mendapatkan bantuan hukum.

Di sisi lain, perusahaan leasing atau perusahaan debt collector masih bisa memberikan pembelaan jika mata elang tidak terbukti melakukan tindak pidana, misalnya dengan memberikan jaminan agar yang bersangkutan dibebaskan, meski peluangnya kecil.

Baca Juga: Hapus Citra Negatif Debt Collector, APJAPI Gandeng Mata Elang

"Tapi, kalau ada unsur pidana di situ, ya, berarti proses hukum. Karena kan pihak leasing dan PT sudah punya SOP yang harus dijalankan tanpa melakukan kekerasan," tutur Alex.

Kriminolog Haniva Hasna menilai, mata elang kerap menjadi korban dari sistem bisnis pembiayaan yang dijalankan perusahaan leasing.

"Dalam kacamata kriminologi iya (menjadi korban). Dalam batas tertentu mereka juga korban sistem," ungkap Haniva.

Ia menjelaskan, mata elang bekerja di bawah tekanan target, upah yang relatif kecil, serta ancaman dari atasan. Dalam situasi tersebut, kekerasan kerap dijadikan alat kerja.

Meski demikian, Haniva menegaskan, posisi sebagai korban sistem tidak menghapus tanggung jawab pidana.

"Tapi penting digarisbawahi adalah, menjadi korban sistem tidak menghapus tanggungjawab pidana," ungkap dia.

Menurut Haniva, persoalan utama praktik mata elang bukan terletak pada individu di lapangan, melainkan pada struktur perusahaan pembiayaan.

Baca Juga: Lima Debt Collector Gadungan di Bandung Raya Tertunduk, 14 Motor dan Satu Mobil Jadi Bukti Kuat

Namun, penegakan hukum selama ini lebih sering menyasar para eksekutor kecil tanpa menyentuh perusahaan leasing yang memanfaatkan jasanya.

Padahal, sanksi terhadap korporasi dinilai jauh lebih efektif untuk memutus praktik kekerasan.

"Sanksi struktural pada korporasi jauh lebih efektif. Eksekutor lapangan, mudah diganti dan tidak punya daya tawar," jelas Haniva.

Perusahaan leasing, kata dia, memiliki kendali sistem, kepentingan ekonomi, dan seharusnya mampu mencegah praktik penagihan dengan kekerasan.

Sanksi yang dapat dijatuhkan antara lain pencabutan izin usaha, denda besar, serta sanksi administratif berat.

"Fenomena mata elang bukan sekadar kriminal jalanan, melainkan cerminan kegagalan struktural dalam pengawasan korporasi. Selama yang dihukum hanya pelaku lapangan, praktik ini akan terus hidup," ucap dia.