Dalam putusannya, lanjut Hendry, Komisi KKEP menjatuhkan dua bentuk sanksi.
Pertama, sanksi etika berupa pernyataan bahwa perilaku pelanggar merupakan perbuatan tercela.
Kedua, sanksi administratif berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari dinas Polri.
Putusan ini tertuang dalam dokumen resmi dengan Nomor: PUT KKEP/21/VI/2025, yang ditetapkan pada tanggal 11 Juni 2025.
Hendry mengatakan, tindakan tegas ini adalah bentuk nyata dari komitmen Polri dalam menjaga integritas dan kehormatan institusi.
Ia menegaskan Polri tidak akan mentoleransi setiap bentuk pelanggaran, terlebih lagi yang berkaitan dengan kejahatan terhadap anak.
"Tidak ada toleransi bagi anggota yang mencoreng nama baik institusi dengan perbuatan tidak bermoral, apalagi menyangkut pelecehan seksual terhadap anak," ujar dia.
Ia menjelaskan, proses sidang berjalan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri dan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.
"Perbuatan pelanggar dilakukan secara sadar dan jelas-jelas melanggar norma hukum, aturan kedinasan, serta ajaran agama. Hal ini berdampak langsung terhadap citra Polri dan kepercayaan masyarakat," ujar dia.
Dalam hasil persidangan juga dinyatakan tidak ditemukan hal-hal yang meringankan.
Sebaliknya, tindakan pelanggar dilakukan dengan kesadaran penuh dan dianggap mencoreng nama baik institusi, yang menjadi faktor pemberat utama dalam proses penilaian komisi.
Sebelumnya diketahui, Briptu MR, anggota Satlantas Polres Kupang Kota diperiksa setelah melakukan pelecehan seksual terhadap PGS (17), siswi salah satu SMK di Kota Kupang.
"Hari ini, Senin, 5 Mei 2025, Bidang Propam Polda NTT menggelar perkara internal untuk meningkatkan penanganan kasus ini ke tahap pemeriksaan yang lebih mendalam," kata Kabid Humas Polda NTT, Kombes Pol Hendry Novika Chandra.
| Editor | : | Dida Argadea |
KOMENTAR