"Dengan asumsi denda maksimal Rp 500.000 per pelanggaran, maka pada Februari bisa terkumpul Rp 4,1 triliun, dan pada Maret Rp 5,1 triliun. Jika 50 persen dari jumlah ini dikembalikan ke daerah untuk membangun transportasi publik, maka Februari ada Rp 2 triliun dan Maret Rp 2,5 triliun. Total dalam dua bulan saja bisa mencapai Rp 4,6 triliun," kata Haris.
Haris lantas membandingkan angka tersebut dengan alokasi anggaran subsidi transportasi publik di DKI Jakarta.
Saat ini, Pemprov DKI mengalokasikan Rp 4,1 triliun untuk subsidi TransJakarta, Rp 800 miliar untuk MRT Jakarta, dan sekitar Rp 300 miliar untuk LRT Jakarta.
"Dengan adanya mekanisme creative financing seperti ini, dana dari denda ETLE bisa menjadi sumber pembiayaan tambahan untuk transportasi publik," tutur Haris.
"Tapi syaratnya, sistem ETLE harus berjalan optimal dan semua pelanggaran yang tercatat bisa diproses serta dikirimkan surat tilangnya," ujarnya.
MTI berharap penambahan pasal terkait ETLE bisa menjadi salah satu yang dipertimbangkan dalam revisi UU LLAJ.
Baca Juga: Denda Tilang di Indonesia Wajib Disyukuri, Ketimbang Nominalnya Seperti di Vietnam Ini
Dengan demikian, denda tilang dari ETLE bisa dikelola lebih efektif dan memberikan manfaat langsung bagi peningkatan layanan transportasi di daerah.
"Jadi artinya adalah apabila creative financing ini bisa dilakukan dengan memberlakukan kamera ETLE, ini dendanya bisa jadi sumber tambahan, tapi dengan syarat semua bisa terkirim," tandas Haris.