Menurut Sosiolog, Ini Alasan Kasus Geng Motor Belum Bisa Diatasi

Rizky Septian - Selasa, 26 Desember 2017 | 15:13 WIB

Pelaku penjarahan toko pakaian geng motor Jepang singkatan dari Jembatan Mampang yang bermarkas di J (Rizky Septian - )

"Jadi lingkungan tempat mereka tinggal dan sering kumpul, pasti tidak memberi perhatian kepada geng motor. Masyarakat hanya melihat hilirnya, tidak melihat akar masalah, mengapa geng motor berprilaku tidak baik," kata Umar.

Kelima, kurang perhatian pemerintah.

Ia menegaskan, hal ini merupakan kenyataan, sejak Orde Baru berkuasa 32 tahun lamanya dan Orde Reformasi 19 tahun, fokus utama pembangunan adalah penbangunan fisik.

Pembangunan manusia sangat kurang, sehingga lahir geng motor.

(BACA JUGA: Bikin Pusing, Honda CBR Ini Dipakaikan Ban Kecil, Netizen Pada Nyinyir)

Dampak dari model pembangunan yang dijalankan selama 51 tahun, pertama, masyarakat menjadi hedonis-menghambakan materi.

Masyarakat berubah prilakunya, menghalalkan segala cara demi mendapatkan materi (uang) tanpa peduli halal atau haram.

Kedua, mayoritas bangsa Indonesia hanya berpendidikan SMP dan tidak sekolah.

Pada umumnya mereka yang berpendidikan rendah dari kalangan masyarakat bawah seperti anak-anak geng motor, pasti tidak bisa berpartisipasi dalam pembangunan.

Ketiga, Indonesia kelihatan maju, sejatinya tidak maju karena mayoritas masyarakat masih miskin dan beban negara dalam bentuk hutang sangat besar.

"Oleh karena itu, fenomena geng motor jangan hanya dilihat dari prilaku mereka yang melakukan penjarahan toko, tetapi sejatinya adalah kegagalan pembangunan yang mengutamakan pisik ketimbang pembangunan manusia," tutup Umar.