Ketiga anak pertamanya telah bersekolah di bangku SMP, SD, dan TK.
Mereka kerap ditinggal di rumah saat bekerja dengan tumpuan di sulung yang menjaga.
Sementara anak keempatnya lebih sering diajak oleh Aisyah dan Aspriyanto menemani bekerja sekaligus menjaga.
“Alhamdulillah anak-anak itu juga pengertian. Anak saya yang pertama saya ajarin masak-masak sedikit sudah bisa, terus mereka juga gak pernah minta-minta, katanya ‘kasian ibu sudah capek kerja’,” satu dua tetes air matanya mengalir.
Padahal, Aisyah bilang yang membuatnya semangat bekerja adalah senyum mereka anak-anaknya saat menyambut mereka pulang.
Bukan apa, pekerjaan Aisyah dengan segala risiko dari perut keram, kaki bengkak, tulang paha patah, hingga potensi hilangnya nyawa ia hadapi setiap hari demi melihat anak-anaknya tak kekurangan makan.
“Sakit ini kami juga gak periksa ke dokter. Kalau tahu keadaan kami paling ya gak boleh kerja sedangkan kami butuh uang,” tuturnya.
Tidak ada kata menyerah di dalam kamus dirinya. Tekadnya mencari uang meski harus bergelut dengan perkakas berat setiap hari ia jalani tanpa mengeluh.
“Saya nikmati saja sekarang, anak-anak kalau sudah dewasa nanti berpisah dengan kami. Meskipun kadang suka marah tapi kalau mereka tidur saya lihatin, senyum mereka bikin saya semangat,” ungkapnya.
“Kalau saya pulang, bunda pengen jajan itu kayak rasanya capek saya hilang. Senang lihat anak-anak bisa makan. Lihat anak-anak, aku harus kerja lebih semangat,” pungkasnya.
| Editor | : | Naufal Nur Aziz Effendi |
KOMENTAR