"Sekarang, sejak ada surat edaran larangan itu paling Rp1 juta juga tidak sampai. Kebanyakan sekarang nganggur, serabutan saja. Di rumah kalau ada yang nyuruh nyangkul ya nyangkul, kadang jadi sopir truk juga,” ungkapnya.
Bagi sopir-sopir bus seperti Jaya yang tidak menerima gaji tetap, larangan tersebut membawa kesulitan ekonomi yang nyata.
Mereka kehilangan sumber penghasilan utama. Banyak yang kini terpaksa bekerja serabutan: dari nyangkul di sawah hingga mengemudi truk secara harian.
Jaya mengatakan, mayoritas pelanggan PO tempat ia bekerja adalah pelajar yang hendak mengikuti kegiatan study tour.
"Kalau enggak ada study tour, ya enggak jalan bus-nya," katanya.
Menurutnya, dampak kebijakan ini bukan hanya dirasakan oleh perusahaan, tapi juga oleh lapisan paling bawah dalam rantai industri pariwisata: sopir, kernet, dan keluarga mereka.
Baca Juga: Pakar yang Bilang, Pelajaran Ini Harus Diambil dari Kecelakaan Bus Study Tour SMAN 1 Sidoarjo
Gelombang protes dari para pelaku industri pariwisata memuncak pada Senin (21/7/25).
Ribuan sopir, kru bus, dan pelaku usaha lainnya turun ke jalan.
| Editor | : | Naufal Nur Aziz Effendi |
KOMENTAR