Harga BBM Tak Kunjung Turun, YLKI Sebut Terkait Kepentingan Politik

Naufal Shafly - Sabtu, 23 Mei 2020 | 16:50 WIB

Ilsutrasi isi BBM (Naufal Shafly - )

GridOto.com - Harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sampai saat ini belum mengalami penurunan, padahal sebagian besar negara di seluruh belahan dunia telah menurunkannya.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan hal ini adalah penyakit lama pemerintah Indonesia.

"Ini tidak bisa dilihat hitam putih pada konteks regulasi yang ada. Tetapi juga dinamika-dinamika lain, baik pada konteks historis maupun sekarang ini," kata Tulus dalam virtual public discussion, Jumat (22/5/2020).

"Jadi sumbu persoalannya, pemerintah inkonsisten soal kebijakan energi dari sisi hulu ke hilir, terkait dengan BBM maupun listrik. Ini penyakit lama pemerintah," tuturnya.

Baca Juga: Pemerintah Dituntut Adil. Kalau Sekarang Harga BBM Tidak Bisa Diturunkan, Ya Nanti Enggak Boleh Dinaikkan

Tulus menilai, pemerintah sering kali mengorbankan operator dan konsumen demi kepentingan politik.

Sebagai contoh, pada 2018 pemerintah memiliki kesempatan untuk menaikkan harga BBM, namun tidak dilakukan karena alasan politis.

"Sampai dua tahun tidak ada kenaikkan tarif listrik dan BBM. Padahal kalau menurut regulasi, regulasinya jelas, mustinya itu naik," ucap Tulus lagi.

"Apalagi jika alasannya nilai tukar USD dan segala macam. Ini penyakit pemerintah, operator dan konsumen akhirnya dikorbankan," imbuhnya.

Baca Juga: Harga BBM di Indonesia Harus Turun, Tapi Jangan Semurah Kacang Goreng!

Lebih lanjut Tulus menjelaskan, sebagai perusahaan BUMN, Pertamina sering diberi tugas-tugas yang sebenarnya harus dikerjakan oleh pemerintah.

Misalnya, kebijakan BBM satu harga yang harus ditanggung oleh perusahaan energi pelat merah tersebut.

"Harusnya kalau berdasarkan cost yang ada, itu harusnya kan ditanggung APBN, tapi karena ini demi merah putih demi NKRI," kata Tulus lagi.

"Kemudian Pertamina yang menanggung dan sampai sekarang tidak dibayar tidak diganti. Akhirnya menjadi kontra produktif bagi BUMN seperti Pertamina," tutupnya.