Menurut Yuswohady apakah dengan ledakan penjualan ini infrastruktur dan ekosistem EV siap menghadapinya.
"Sebab, dalam jangka panjang dampaknya pada kepercayaan konsumen," ulasnya.
Ia mengibaratkan pasar yang tumbuh terlalu cepat tanpa persiapan infrastruktur yang memadai ibarat jalan tol yang baru diaspal tapi tidak ada rambu, penerangan dan rest area.
"Di permukaan terlihat mulus namun rawan mencelakakan penggunanya," jelasnya.
Ia mencontohkan salah satu kekuatan mobil konvensional Jepang adalah 3 S alias Sales, Spare Part dan Service.
"Banyak kendaraan EV China dijual (sales) oleh dealer dan importir yang tidak memiliki jaringan nasional dan dukungan teknis memadai," ulasnya.
Dari sisi service, bengkel dan teknisi EV terbatas dan tak merata, hanya di kota-kota besar saja.
"Untuk komponen, rantai pasok spare-part bergantung pada impor. Jika terjadi kerusakan butuh waktu lama dan konsumen terjebak dalam ketidakpastian," jelasnya.
Berikutnya soal SPKLU, meski jumlahnya meningkat, namun penyebarannya masih di kota besar dan sejumlah ruas tol Jawa.
"Beberapa lokasi charging yang rusak, tidak semua mobil cocok dengan model colokan yang tersedia," bilangnya.
Karenanya, ia mengingatkan EV yang menjadi simbol inovasi bisa berubah menjadi sumber petaka atau stress.
"Jika ketidaksiapan ini dibiarkan akan memunculkan krisis kepercayaan konsumen," sebutnya.
Hingga pada akhirnya pasar goyah dan konsumen kecewa.
| Editor | : | Hendra |
KOMENTAR