Di sisi lain menurut Agus, pada dasarnya penyebab utama hal ini adalah pola kerja dan jam istirahat sopir sehari-harinya sangat tidak seimbang.
Sopir bus misalnya, sering kurang istirahat dengan layak dan ideal karena harus tidur di bawah kolong bagasi bus untuk beristirahat.
Ditambah lagi bus pariwisata juga tidak punya rute pasti, karena berubah-ubah sesuai dengan order dari penyewa bus.
Jam kerja sopir serta istirahatnya yang semakin tidak pasti, ditambah dengan medan yang berbeda di setiap kesempatannya, menambah peluang kecelakaan di jalan.
Kemudian di sana ada faktor tambahan seperti kendaraan yang kurang terawat dan teruji dalam hal penunjang keselamatan.
"Belum kondisi bus yang tidak pernah diperiksa atau KIR atau sebagainya. Jadi persoalan ini tidak pernah ada yang urus. Padahal ini merupakan tanggung jawab pemilik kendaraan juga," jelas Agus.
Di acara yang sama Pengamat Transportasi sekaligus Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI, Djoko Setijowarno, mengungkap bahwa kesalahan ini berada di sistem.
Ia mengkritik keras sistem penanganan kecelakaan yang selalu menyudutkan sopir saja sebagai pihak yang bersalah.
Djoko pun mendesak agar sistem yang berlaku segera diubah, sehingga semua pihak bisa ikut bertanggung jawab.
"Sistem ini perlu diubah. Semua pihak, mulai dari perusahaan hingga pemilik barang harus ikut bertanggung jawab menjamin keselamatan di jalan raya," jelasnya.
Jika semua pihak ikut bertanggung jawab, harapannya angka kecelakaan serupa akan berkurang ke depannya.
| Editor | : | Panji Nugraha |
| Sumber | : | Kompas.com |
KOMENTAR