Gridoto – Toyota ternyata enggak hanya meriset pengembangan bahan bakar alternatif di Jepang.
Sebab mereka punya juga lembaga riset yang mempelajari teknologi untuk memproduksi etanol berbasis non-pangan.
Hal ini terungkap dalam Global Workshop di Tokyo, Jepang (31/10).
Hiroki Nakajima, Executive Vice President Toyota Motor Corporation mengungkapkan hal ini menyorot soal etika penggunaan bahan pangan untuk energi.
“Kami memiliki lembaga riset di Tiongkok yang telah mengembangkan teknologi produksi etanol dari selulosa. Saat ini riset tersebut masih dalam tahap eksperimental, namun kami optimistis bahwa etanol berbasis non-pangan dapat menjadi solusi penting untuk memperluas pemanfaatan biofuel di berbagai wilayah,” papar Nakajima.
Etanol memang salah satu energi alternatif yang sedang digencarkan penelitian dan aplikasinya oleh Toyota.
Ia menjelaskan, dalam hal pengembangan bahan bakar, Indonesia dan Thailand telah bekerja sama dalam proyek Carbon Neutral Fuel, dengan fokus pada biofuel.
“Kami berkolaborasi dengan pemerintah serta mitra lokal untuk memperkuat ekosistem energi berkelanjutan di kawasan ini,” ujarnya.
Menurutnya, secara umum, biofuel saat ini banyak diproduksi dari sumber pangan seperti jagung atau tebu.
“Namun, muncul perdebatan global terkait etika penggunaan bahan pangan untuk energi. Karena itu, kami juga meneliti cara memproduksi etanol dari tanaman non-pangan, misalnya tanaman yang dapat tumbuh tanpa pupuk khusus atau bisa dipanen dua hingga tiga kali dalam setahun,” ulas Nakajima.
Sebelumnya diberitakan, petinggi Toyota, Keiji Kaita, President Neutral Engineering Development Center Toyota Motor Corporation mengungkapkan soal efek dan daya tahan mesin dalam penggunaan etanol.
“Ketika kita menggunakan etanol pada mesin, perlu diperhatikan daya tahan komponen terhadap sifat kimia etanol itu sendiri,” ucapnya dalam kesempatan yang sama.
“Namun demikian, sebagian besar mesin bensin Toyota saat ini sebenarnya sudah siap digunakan dengan bahan bakar bercampur etanol hingga pada level tertentu,” lanjutnya.
Artinya, setiap negara dapat menyesuaikan penerapannya sesuai dengan kondisi iklim, infrastruktur, dan kebijakan energinya masing-masing.