Microsleep Jadi Pelajaran dari Kecelakaan Achmad Hermanto Dardak, Penyebabnya Mulai Dari Bosan hingga Depresi

Harun Rasyid - Minggu, 21 Agustus 2022 | 13:26 WIB

Kondisi Toyota Kijang Innova yang ditumpangi DR Ir Achmad Hermanto Dardak (65), orang tua Wakil Gubernur Jatim, Emil Dardak. (Harun Rasyid - )

GridOto.com - Achmad Hermanto Dardak (65) meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan di ruas Tol Trans Jawa kilometer 341+400 Jalur B, Sabtu dini hari (20/8/2022).

Ayah Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak ini meninggal saat dilarikan ke Rumah Sakit Poso, Pekalongan setelah Toyota Kijang Innova yang ditumpanginya menabrak bak belakang truk tronton.

Saat kejadian, Achmad Hermanto Dardak yang merupakan mantan Wakil Menteri Pekerjaan Umum tersebut sedang disopiri Angga Saputra (30) yang membawa mobil dengan nopol B 2739 UFZ.

Usut punya usut, sang sopir mengantuk saat melintasi Tol Trans Jawa pada pukul 03.25 WIB yang berujung Toyota Kijang Innova tersebut berbenturan dengan truk Hino bernopol K 1909 BH.

Menurut Jusri Pulubuhu, Founder Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC), ada beberapa hal yang bisa diperhatikan pada kecelakaan yang menimpa mendiang Achmad Hermanto Dardak.

Yang pertama yaitu adanya microsleep yang bisa dialami setiap pengemudi dengan kendaraannya.

"Microsleep itu pemicunya banyak, ini bukan hanya saat mengemudi mobil baik itu aktivitas single-tasking maupun multi tasking. Di jalan, microsleep itu kalau dalam kondisi kecelakaan selalu dikatakan situasi highway hypnosis," ujar Training Director JDDC saat dihubungi GridOto.com, Minggu (21/8/2022).

Jusri mengatakan, highway hypnosis bisa saja disebabkan situasi yang membosankan atau monoton hingga kondisi fisik yang letih.

"Letih ini bisa karena aktivitas utama yang terlalu panjang hingga pra aktivitas semisal kurang tidur, memiliki masalah mental distractions seperti di keluarga hingga lingkungannya," katanya.

Baca Juga: Kabar Duka, Hermanto Dardak Ayahanda Emil Dardak Meninggal Dunia Usai Terlibat Kecelakaan di Tol Trans Jawa

"Selain itu microsleep ini bisa juga karena gangguan penglihatan di malam hari atau hujan, serta in car distractions atau kondisi tidak nyaman di dalam mobil. Ini tanpa sengaja bisa menguras stamina driver karena dia tertekan, depresi, atau distraksi," lanjut Jusri.

Ia mengungkapkan, driver juga dapat mengalami emosi atau mood yang kadang-kadang terganggu sehingga merasa terintimidasi dari penumpangnya.

"Misalnya si bos membicarakan masalahnya ke sopir. Sehingga sopir tidak nyaman, cemas, terus bisa juga frustasi yang menyebabkan cara mengemudinya bisa menjadi tidak aman," sebut Jusri.

Rahadian Bagus / Tribun Jatim
Ilustrasi dampak microsleep


Berbagai faktor ini yang menurut Jusri, kadang luput atau tidak terangkat dalam pasca kecelakaan.

"Secara yuridis, Polisi melakukan investigasi kecelakaan dari sisi pelanggaran untuk bukti di persidangan. Kadang mereka tidak melihat faktor tersembunyi ini yang bisa dialami orang lain," ucap Jusri.

Jadi, sebaiknya faktor-faktor yang tersembunyi ini perlu diangkat agar kecelakaan dengan penyebab yang serupa tidak terulang.

"Sebab masing-masing faktor tadi bisa dialami secara langsung atau bersamaan saat mengemudi. Jadi bukan cuma satu faktor saja," ungkap Jusri.

Selanjutnya, posisi penumpang pada kendaraan juga dapat mempengaruhi dampak kecelakaan.

"Misalnya kenapa penumpang pada dasarnya lebih fatal dibanding pengemudi saat kecelakaan? Biasanya secara manusiawi, respon pengemudi sebelum mengalami kecelakaan akan bereaksi melindungi dirinya sendiri," papar Jusri.

Contohnya sebelum kendaraan menabrak tembok, secara manusiawi sopir akan mengarahkan ke bagian lain untuk melindungi dirinya sendiri.

Baca Juga: Jadi Lokasi Kecelakaan Maut Achmad Hermanto Dardak, Ini Fakta Tol Pemalang-Batang

Di satu sisi Jusri menilai, penumpang biasanya tidak siap sebelum kendaraan mengalami kecelakaan.

"Contohnya penumpang sedang duduk santai karena tidak melihat situasi, beda dengan si pengemudi. Oleh karena itu, penumpang mobil sebaiknya duduk di baris kedua sebelah kanan atau belakang sopir," katanya.

"Jika di bus, saya akan memilih tiga atau empat baris di belakang sopir. Sebab kalau di belakang atau depan akan berbahaya jika terjadi kecelakaan parah, jadi sebaiknya di tengah bus yang sejajar di belakang sopir," tambah Jusri.