Mobil Listrik di Indonesia. Riwayatmu Kini

Bimo Aribowo - Rabu, 22 Mei 2019 | 18:50 WIB

Toyota Mirai. Mobil listrik pertama Toyota yang dijual massal (Bimo Aribowo - )

Teknologi mobil listrik sudah bukan dominasi pabrikan Amerika, Eropa dan Jepang. Ketiganya kuat di mesin bakar. Mobil listrik tidak butuh itu. Cukup motor dinamo dan baterai untuk menggerakkan mobil.

Bimo Aribowo
Mercedes-Benz GLC F-Cell salah satu bukti kesiapan produsen Eropa

Teknologi baterai lah yang saat ini jadi fokus perhatian produsen mobil listrik. Terutama material bahan bakunya. Ada 2 bahan dasar favorit yang dipakai saat in yaitu cobalt dan nikel. Keduanya punya kelebihan dan kekurangan.

Nikel murah tapi tak mampu menyimpan listrik besar. Sedangkan cobalt bisa menyimpan listrik besar namun mahal. Inilah yang membuat produsen berlomba-lomba melakukan riset agar mendapatkan baterai yang biaya produksi murah sekaligus berdaya besar.

Sayangnya saat ini sumber material cobalt terbesar di dunia hanya ada di Kongo. Menurut sumber di sebuah pabrikan mobil listrik, cobalt di Kongo sudah lama dikuasai oleh Cina.

Bimo Aribowo
Teknologi baterai akan jadi unggulan produsen asal Cina

Mungkin itu pula yang membuat mobil listrik di Cina berkembang paling pesat dibanding belahan dunia lain. Tahun 2013 saat saya berkesempatan berkunjung ke Shanghai saja sudah banyak pabrikan Cina yang menjual mobil listrik ke pasar domestik. Salah satunya BYD e6 bahkan sempat saya coba di sebuah sirkuit kecil di pinggiran kota.

Infrastruktur charging station juga paling banyak di Cina. Di beberapa jalanan utama kota malah tiap jarak 400 meter tersedia charging untuk mobil listrik.

Bukan mustahil nanti saatnya mobil listrik Cina yang akan mendominasi pasar di Indonesia. Produknya punya nilai ekonomis tinggi. Sisanya produk Jepang, Eropa dan Amerika mungkin hanya bermain di segmen kelas atas yang kuenya kecil.

Bimo Aribowo
Charging listrik butuh daya besar agar cepat terisi penuh

Terlepas dari soal tunggu-menunggu regulasi baru. Mobil listrik banyak diragukan cepat berkembang di Indonesia. Beberapa pihak menilai infrastruktur belum siap. Mulai dari charging station hingga pasokan listrik.

Tapi membuat charging station bukanlah hal rumit layaknya SPBU atau membuat jenis bahan bakar tertentu. Pendek kata, charging station mudah dibangun dalam waktu singkat. Asalkan pasarnya ada. Yaitu keberadaan mobil listrik di Tanah Air.

Saya bisa mengingat kondisi dibukanya keran mobil impor di awal tahun 2000-an. Mobil beragam merek banjir hingga model yang aneh-aneh sekalipun. Lantas karena populasinya banyak menciptakan pasar tersendiri untuk bengkel perawatan.

Banjir mobil impor lantas diikuti menjamurnya bengkel-bengkel umum kala itu. Nah, bisa jadi jika mobil listrik banyak beredar di jalanan Indonesia juga diikuti pembangunan charging stationnya. Rasanya agak mustahil menunggu charging station selesai dibangun sebelum mobilnya hadir.

Tinggal pasokan listrik yang jadi kendala saat ini. Indonesia masih defisit listrik. Apalagi mobil listrik butuh daya besar agar pengisiannya cepat. Minimal daya listrik 4.400 watt.

Bandingkan dengan rata-rata rumah di Indonesia yang masih di bawah 2.200 watt. Apalagi saat malam hari dimana beban listrik besar masih ditambah charging mobil listrik.

Akankah regulasi mobil listrik akan hadir dalam waktu dekat untuk menstimulus industri otomotif nasional? Kita tunggu saja (lagi).***

*Penulis adalah wartawan otomotif sejak tahun 2000 di berbagai media grup Kompas Gramedia, mulai tabloid Otomotif, majalah Otosport, majalah Auto Bild Indonesia, hingga saat ini di GridOto.com.