"Kendaraan masih status kredit, tapi dijual begitu saja. Ini melawan hukum. Ketika kemudian dicari dan ditemukan, yang memegang unit merasa sebagai korban. Padahal akar masalahnya ada di penjualan ilegal itu," kata dia.
Fenomena tersebut berdampak langsung pada kebijakan pembiayaan.
Rey menyebut, sepanjang 2025 perusahaan pembiayaan memperketat persetujuan kredit secara signifikan.
"Kalau dulu dari sepuluh aplikasi bisa disetujui tujuh atau delapan, sekarang mungkin hanya empat atau lima. Survei lebih ketat, verifikasi lebih detail," ujar dia.
Tujuannya bukan sekadar menekan kredit bermasalah, tetapi juga mencegah praktik spekulatif membeli kendaraan untuk dijual kembali saat cicilan belum berjalan lama.
Baca Juga: Bentrok Kematian Dua Debt Collector di Kalibata, 1 Mobil, 6 Motor dan 9 Kios Hangus Dibakar Massa
Dampak lanjutan dari kebijakan ini adalah semakin menyempitnya ruang masyarakat untuk mengakses pembiayaan kendaraan.
Meski menghadapi persoalan kredit bermasalah, Rey menegaskan proses penagihan tetap harus mengikuti aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Hukum dan HAM, serta tidak boleh menimbulkan gangguan ketertiban umum.
"Debt collector resmi itu harus punya surat kuasa, sertifikat fidusia, SPPI (Sertifikasi Profesi Pembiayaan Indonesia), dan bertindak sopan. Kalau tidak ada dasar hukum dan melakukan intimidasi, itu jelas salah," kata dia.
Ia membedakan antara penagih resmi yang bekerja berdasarkan kuasa dan Standar Operasional Prosedur (SOP), dengan oknum atau debt collector gadungan yang memanfaatkan data untuk melakukan eksekusi sepihak.
"Kalau diajak ke kantor polisi lalu dia gagap, itu tanda-tanda tidak benar," papar Rey.