"Kalau nyetel (memutar) musik kan lewat handphone, kita sudah beli paket data. Kan sudah bayar, masak juragan (pemilik) bus harus bayar lagi gara-gara musik," katanya.
Dia berharap saat ini pemerintah setidaknya tidak membuat aturan yang terlalu ribet sehingga menghambat perekonomian rakyat kecil.
Tidak semua usaha terkena pajak. "Kalau dikit-dikit pajak, dikit-dikit pajak wah susah kita. Harusnya lebih bijak kalau mau menerapkan pajak," harapnya.
Hal serupa ternyata juga dilakukan PO-PO bus di wilayah Jakarta.
Baca Juga: Kuasai Hampir Seluruh Jalan Pulau Jawa, Dua Orang Inilah Pendiri PO Bus Sinar Jaya Sejak 1982
Pengelola agen Sinar Jaya Tanjung Priok bernama Ali (43), mengaku 40 unit bus antar kotanya sudah tidak lagi memutar lagu selama perjalanan mengantar penumpang.
"Udah kompakan, Sinar Jaya, PO bus SAN, banyak bus yang kompakan enggak pakai lagu sekarang," ujar Ali saat diwawancarai, (19/8/25) melansir Kompas.com.
Ali mengaku, sudah sekitar dua minggu bus Sinar Jaya yang berangkat dari Terminal Tanjung Priok tak diperbolehkan lagi menyetel lagu.
Larangan itu dikeluarkan usai Ali mendapat imbauan dari kantor pusat Sinar Jaya untuk tidak lagi menyetel lagu.
Namun, imbauan tersebut masih berbentuk lisan, belum secara tertulis.
"Cuma secara resminya belum ditulis, biasanya kan diumumkan, ini baru secara lisan aja," kata Ali.
Meski secara lisan, Ali tetap menjalankan imbauan itu, karena takut tiba-tiba mendapatkan tagihan royalti lagu.
Baca Juga: Waspada, Segara Hindari Jika Temukan Stiker Warna Merah Pada PO Bus Ini Saat Libur Panjang
"Kalau dari kita sebenarnya keberatan, cuma nanti daripada diklaim (royalti) berapa ratus juta," ucap Ali.
Sementara salah seorang sopir bus bernama Enjun (43), mengaku masih menyetel lagu ketika mengantar penumpang.
"Kadang hidup (musiknya), karena penumpang meminta musik, itu pun kecil, enggak boleh keras-keras," ujar Enjun.
Hal itu dilakukan Enjun karena PO bus tempatnya bekerja belum melarang untuk menyetel lagu.
Namun, jika nanti sudah ada larangan resmi dari tempatnya bekerja, Enjun mengaku akan patuh dan tak akan lagi menyetel lagu di bus selama perjalanan.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM menegaskan bahwa setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, hingga hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, mengatakan aturan ini tetap berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan musik digital seperti Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music.
Baca Juga: Cara Laksana Bisa Desain Bus Enak Dilihat, Ternyata Enggak Mudah
"Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah," kata Agung dalam keterangan tertulis, (28/7/25).
Pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
LMKN bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada para pencipta dan pemilik hak terkait.