Soal Ojek Online, Pengamat Transportasi: Jadi Driver Ojol Bukan Atasi Pengangguran

M. Adam Samudra - Selasa, 10 Juli 2018 | 10:35 WIB

Ilustrasi Ojol (M. Adam Samudra - )

GridOto.com- Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya memutuskan menolak melegalkan ojek online sebagai alat transportasi umum.

Putusan ini diambil MK terhadap uji materi perkara Nomor 41/PUU-XVI/2018, yang diajukan para pengemudi ojek online.

MK menolak permohonan pemohon karena sepeda motor bukan kendaraan yang aman untuk angkutan umum.

MK menyatakan, ojek online tetap dapat berjalan meski tidak diatur dalam UU LLAJ.

(BACA JUGA : Lagi Ramai Dibahas, Kenapa Jalan Tol Berkelok, Enggak Dibuat Lurus?)

Djoko Setijowarno, Pengamat Transportasi Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika mengatakan ojek online hanya mengganggu ketertiban umum.

"Awalnya, keberadaan ojek online ini tidak seperti sekarang yang bergerombol di tepi jalan yang semestinya area dilarang parkir," kata Djoko melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (10/7/2018).

"Selain mengganggu pengguna jalan lain, para driver dan penumpang ojek pun menjadi tidak nyaman," tambahnya.

Seharusnya, lanjut dia, dengan sistem online, driver tidak perlu mencari penumpang, tidak perlu menunggu di pangkalan, cukup menunggu di rumah untuk mendapat penumpang.

(BACA JUGA: Begini Nih Bentuk ‘Bajaj Roda Tiga’ Asli Buatan Piaggio Italia)

Dengan berjalannya waktu dan makin kerasnya persaingan akibat jumlah driver ojek online semakin banyak dan tidak ada pembatasan, membuat persaingan mencari penumpang tidak seperti janji semula.

"Menjadi driver ojol bukan mengatasi pengangguran, akan tetapi sebagian besar termakan iming-iming dari aplikator akan memberikan pendapatan mencapai Rp 8 juta per bulan di tahun 2016," tegasnya.

"Kala itu bisa mencapai Rp 10 juta perbulan, karena aplikator masih memberikan tambahan bonus. Sekarang, pendapatan sebesar itu hanya impian," beber Djoko.

Untuk mendapatkan Rp 3 juta sebulan harus bekerja mulai jam 06.00 hingga 22.00 (16 jam) tanpa hari istirahat.

Menurut UU Ketenagakerjaan, sehari bekerja 8 jam. Aplikator juga tidak mau lagi memberikan subsidi.

Kinerja aplikator tidak ada yang mengawasi dan sistem yang digunakan tidak ada pihak yang mengaudit. Akhirnya, menyebabkan kesewenangan aplikator terhadap driver ojek online.